Saturday, September 22, 2007

Sejarah Kabupaten Muna


Memasuki Kota Muna, Sulawesi Tenggara, tidak boleh sembarangan. Berjalan kaki saja dilarang, apalagi menunggang kuda. Ini tak lain untuk menjaga etika dan sopan santun. Yang boleh menunggang kuda hanya para pejabat tinggi. Kalau sudah mendekati rumah kediaman perdana menteri, penunggang kuda juga harus turun, lalu berjalan kaki ke tempat tujuan di kota tersebut. Budaya dan tatakrama di Kota Muna adalah potret sepenggal sejarah Kerajaan Muna di masa lampau, sebagaimana diungkapkan Jules Couvreur dalam buku Sejarah dan Kebudayaan Kerajaan Muna yang diterbitkan Artha Wacana Press, Kupang, Nusa Tenggara Timur, tahun 2001.


Couvreur cukup memahami sejarah dan kebudayaan Muna, salah satu etnis yang mendiami Pulau Muna dan pulau-pulau lain di sekitarnya. Sebab, dia adalah pegawai pemerintah kolonial Belanda yang pernah menjabat sebagai kontroler (setingkat bupati) di Kerajaan Muna selama kurang lebih dua tahun (1933-1935). Selama kurun waktu itu dia tekun menggali sejarah dan kebudayaan daerah tersebut.
Ketika Couvreur meninggal dunia di Den Haag, Belanda, pada tahun 1971 dalam usia 70 tahun, naskah yang ditulisnya tahun 1935 itu masih dalam bentuk stensilan berbahasa Belanda. Stensilan itu kemudian diterjemahkan Dr Rene van den Berg, dosen linguistik dan peneliti bahasa Muna di Darwin, Australia.
KOTA Muna terletak sekitar 25 kilometer dari Raha, ibu kota Kabupaten Muna, sekarang. Orang Muna sebetulnya menyebutnya Wuna, sebagaimana nama asli suku Muna dan Pulau Muna. Namun, kata "Wuna" itu lama kelamaan diucapkan dan ditulis menjadi "Muna" dalam laporan dan bahasa resmi. Wuna dalam bahasa Muna berarti bunga. Disebut begitu karena tidak jauh dari Kota Wuna itu terdapat sebuah bukit batu karang yang sewaktu- waktu tumbuh dan menyerupai bunga.
Daratan Pulau Muna memang hampir didominasi batu karang. Bukit batu (yang sering) berbunga itu disebut Bahutara yang diartikan sebagai bahtera. Hal itu terkait dengan tradisi lisan yang menyebutkan bahwa di tempat itulah perahu Sawerigading, tokoh asal Sulawesi Selatan yang melegenda, terdampar setelah menabrak batu karang. Para pengikutnya sebanyak 40 orang dari Luwu, Sulsel, kemudian terpencar ke berbagai tempat, sebagian membuat koloni di Muna, dan lainnya ke Konawe di jazirah Sulawesi Tenggara.
Sejalan dengan semakin baiknya sistem pemerintahan, pada masa kekuasaan Lakilaponto sebagai Raja Muna VII (1538- 1541) mulailah dibangun pusat kerajaan di lokasi yang disebut Wuna tadi. Pembuatan benteng yang mengelilingi Kota Wuna merupakan prestasi besar yang dihasilkan pemerintahan raja tersebut.
Setelah Lakilaponto ditunjuk menjadi Raja Buton, pembangunan Kota Wuna dilanjutkan penggantinya, La Posasu, adik Lakilaponto. Pengangkatan Lakilaponto sebagai Raja Buton merupakan hadiah dari raja yang sedang berkuasa atas keberhasilan Raja Muna itu mengalahkan dan membunuh bajak laut La Bolontio, pengacau keamanan rakyat Buton.
Setelah menjadi raja dan kemudian bergelar sultan, menyusul diterimanya Islam sebagai agama resmi kerajaan, Lakilaponto mengadakan kesepakatan dengan adiknya, La Posasu, untuk saling membantu dan bekerja sama bila kedua kerajaan menghadapi situasi pelik, termasuk ancaman dan intervensi dari luar.
Hubungan persaudaraan di antara kedua kerajaan terjalin hangat selama kurang lebih 3,5 abad. Namun, dalam kerangka politik pecah belah pemerintah kolonial Belanda bersama Sultan Buton secara sepihak membuat perjanjian yang disebut Korte Verklaring pada 2 Agustus 1918.
Isi perjanjian itu menyebutkan, Belanda hanya mengakui dua pemerintahan swapraja di Sulawesi Tenggara, yakni Swapraja Buton dan Swapraja Laiwoi di Kendari. Sejak saat itu Kerajaan Muna yang berdaulat dinyatakan berada di bawah kontrol Kesultanan Buton. Sebagai subordinasi Kesultanan Buton, Muna praktis menjadi salah satu dari empat wilayah penyangga (bharata) kerajaan Islam tersebut. Tiga bharata yang lain adalah Tiworo, Kulisusu, dan Kaledupa. Berdasarkan Korte Verklaring itu pula beberapa kerajaan kecil di sekitar Kesultanan Buton, seperti Tiworo, Kulisusu, Kaledupa, Rumbia, dan Kabaena, ikut menjadi wilayah kekuasaan Kesultanan Buton. Dua kerajaan kecil yang terakhir merupakan wilayah nonstruktural karena tidak menyandang predikat bharata.
IHWAL pembangunan Kota Wuna, Couvreur mengutip kepercayaan mistis bahwa dalam pembangunan benteng kota itu oleh Lakilaponto dibantu para jin (roh halus. Pembuatan benteng itu memang merupakan pekerjaan raksasa sebab, seperti ditulis Couvreur, panjang keliling pagar tembok itu mencapai 8.073 meter dengan tinggi empat meter dan tebal tiga meter. Selain melanjutkan dan menyempurnakan pembangunan tembok pagar ibu kota kerajaan tersebut, La Posasu sebagai pengganti Lakilaponto juga mendirikan bangunan tempat perguruan Islam, sesuai anjuran Syekh Abdul Wahid. Seperti disebutkan La Kimi Batoa, pensiunan guru sejarah, Abdul Wahid adalah penyebar agama Islam pertama di Pulau Muna. Fasilitas publik lainnya di Kota Wuna adalah masjid. Masjid pertama dibangun pada masa pemerintahan La Titakono sebagai Raja Muna X (1600- 1625). Menurut La Ode Muhammad Sirad Imbo (65), tokoh adat Muna, masjid yang dibangun raja tersebut masih sederhana dan bersifat darurat. Masjid agak besar baru dibangun pada era pemerintahan Raja La Ode Huseini dengan gelar Omputo Sangia (1716- 1757). Masjid tersebut dibangun di tempat berbeda dengan lokasi masjid pertama. Masjid di Kota Wuna itu hampir seumur dengan Masjid Agung Keraton Buton di Bau- Bau.
Masjid Keraton Buton dibangun oleh Sultan Sakiuddin Darul Alam pada tahun 1712 dengan konstruksi permanen, dan baru dipugar pada tahun 1930-an di masa pemerintah Sultan Buton ke-37, Muhammad Hamidi. Adapun Masjid Kota Wuna baru dibangun secara permanen sekitar tahun 1933 oleh La Ode Dika sebagai Raja Muna (1930-1938). Kegiatan pembangunan (renovasi) masjid tersebut mendapat bantuan dari Kontroler Belanda yang berkedudukan di Raha, Jules Couvreur. "Dia menyediakan bahan, seperti semen, atap seng, dan bahan bangunan lainnya," tutur Sirad Imbo. Karena selama memangku raja lebih banyak memerhatikan pembangunan masjid tersebut, maka La Ode Dika diberi gelar Komasigino (pemilik masjid). Dua dari 14 putra-putri La Ode Dika tercatat sebagai tokoh daerah, yakni La Ode Kaimuddin, mantan Gubernur Sultra, dan La Ode Rasyid, mantan Bupati Muna. KERAJAAN Muna di masa lalu kini nyaris tak meninggalkan bekas.
Satu-satunya peninggalan yang tampak di Kota Wuna saat ini hanyalah bangunan masjid yang pernah dirawat La Ode Dika, Raja Muna terakhir yang dipilih oleh Sarano Muna yang dibentuk Raja La Titakono pada abad ke-17 itu. Bangunan masjid itu juga sudah tidak asli. Menurut Sirad Imbo, ketika Bupati Muna dijabat Maola Daud pada tahun 1980-an, bangunan masjid tua itu dirombak total ukuran dan bentuknya. Giliran Ridwan menjadi Bupati Muna (2000- 2005), bangunan masjid itu dirombak lagi untuk dikembalikan ke bentuk aslinya. Bentuk masjid di bekas ibu kota kerajaan itu sangat sederhana. Bangunannya terdiri atas tiga susun, termasuk tempat dudukan kubah. Itulah bentuknya yang asli dari masjid tua tersebut," ujar Sirad, yang juga salah satu putra La Ode Dika. Peninggalan yang lain sudah tidak ada lagi, kecuali beberapa makam tua yang menjadi kuburan raja-raja zaman dulu, antara lain makam La Ode Huseini, yang pada masa hidupnya dikenal sangat taat menjalankan ajaran Islam.
Sisa-sisa ataupun reruntuhan benteng Kota Wuna yang konon dibangun dengan bantuan jin itu juga sudah tidak ada lagi. Namun, Sirad mengaku bahwa pagar tembok itu masih tersisa sekitar 1.800 meter yang masih utuh. Hanya fisik bangunannya memang tidak kelihatan karena dibalut rumput liar. Kota Muna yang dulu berbudaya feodal kini tinggal kenangan. Yang ada hanyalah hamparan semak belukar di sebuah dataran agak cekung yang diapit bukit-bukit karang. Di sana-sini tampak rumah- rumah adat Muna dari kayu jati yang baru dibangun. Menurut Sirad, ada rencana Pemerintah Kabupaten Muna membangun perkampungan bagi para pemangku Sarano Muna sebagai miniatur Kota Wuna beberapa abad silam

Leluhur Muncul dari Bambu

MITOS asal-usul manusia yang menjadi penguasa di daerah kepulauan di Sulawesi Tenggara mempunyai versi yang sama. Wakaka, ratu pertama Kerajaan Buton, diceritakan datang dari China dan pada awalnya ia muncul dari lubang bambu kuning di dalam kompleks Keraton Buton sekarang. Leluhur keturunan mokole (raja) di Kabaena (kini Kabupaten Bombana) juga dimitoskan muncul dari bambu yang biasa dipakai membuat nasi bambu. La Eli alias Baidulzamani, yang disebut sebagai raja pertama di Pulau Muna, menjadi legenda masyarakat Muna bahwa ia berasal dari Luwu, Sulawesi Selatan, lalu muncul dari dalam lubang bambu saat ditemukan manusia yang telah lebih dulu membangun koloni di Wamelai dalam wilayah Tongkuno. Setelah diangkat menjadi raja, Baidulzamani diberi gelar Bheteno ne Tombula (’Manusia yang Dilahirkan di dalam Bambu). Adapun permaisuri bernama Tandi Abe, juga dikabarkan berasal dari Luwu. Konon ia terdampar di Napabale, sebuah laguna di pantai timur Pulau Muna dan kini menjadi salah satu obyek wisata. Salah seorang putri Raja Luwu tersebut dengan menumpang sebuah talam besar pergi ke arah timur mencari pria yang telah menghamilinya. Talam itu telah menjadi batu sekarang. Pria yang dicari tak lain adalah Baidulzamani yang telah lebih dulu berada di daratan Muna. Setelah dipertemukan mereka pun dikawinkan dan menetap di Wamelai. Perkawinan itu melahirkan tiga anak. Salah seorang di antaranya bernama Kaghua Bhangkano yang kemudian menjadi Raja Muna II dengan gelar Sugi Patola. Sugi berarti ’Yang Dipertuan’. Lakilaponto Raja Muna VII dan Raja Buton VI lalu menjadi Sultan Buton pertama dengan sebutan Murhum (almarhum) setelah mangkat, berasal dari garis keturunan sugi tersebut.
TITAKONO, Raja Muna X (1600-1625) tercatat dalam sejarah Muna sebagai pemrakarsa penetapan golongan dalam masyarakat Muna. Ia menetapkan penggolongan itu bersama sepupunya bernama La Marati. Yang terakhir ini adalah anak Wa Ode Pogo, saudara perempuan Lakilaponto. Titakono sendiri adalah putra Rampei Somba, saudara Lakilaponto. Sebagai raja, Titakono mengangkat sepupunya itu menjadi pembantu utamanya dalam pemerintahan dengan jabatan yang disebut bhonto bhalano (semacam perdana menteri). Setelah itu keduanya bersepakat menetapkan strata sosial masyarakat. Berdasarkan kesepakatan itu, golongan masyarakat dari garis keturunan sugi sampai kepada Titakono harus diakui sebagai golongan tertinggi yang disebut Kaomu dengan gelar la ode. Lalu kelompok masyarakat keturunan mulai dari La Marati ditetapkan sebagai golongan setingkat lebih rendah dari Kaomu yang disebut Walaka. Golongan Walaka tidak memakai gelar la ode. La Marati menyetujui penetapan posisinya seperti itu karena menyadari bahwa ayahnya, La Pokainsi, bukan keturunan sugi. Kendati ibunya, Wa Ode Pogo, adalah keturunan sugi dan saudara kandung dari Lakilaponto, La Marati dan keturunannya sudah digariskan menjadi golongan Walaka. Dalam struktur pemerintahan kerajaan, golongan Walaka berhak menduduki jabatan bhonto bhalano, sebagaimana yang telah dirintis La Marati. Sementara untuk jabatan raja sudah digariskan harus mereka yang bergelar la ode.
Lapisan ketiga dalam masyarakat Muna di masa lampau adalah golongan Maradika, rakyat biasa. Selain menetapkan penggolongan masyarakat, duet Titakono-Marati juga membentuk dewan adat atau Sarano Wuna. Ketika itu Sarano Wuna terdiri atas enam anggota, yaitu raja, bhonto balano, dan ke-4 ghoerano (empat kepala wilayah yang menjadi basis utama Kerajaan Muna). Mereka adalah ghoerano Tongkuno, Kabawo, Lawa, dan Katobu. Anggota Sarano Wuna kemudian bertambah sejalan dengan perkembangan wilayah kekuasaan.

20 comments:

Lezna hangat said...

Ok basitie,,artikel ini saya archive di blog saya,,,biar sejarah wuna kita itu tersebar ,,,siapa lagi kalau bukan INTAIDIMU MIENO WUNA,,,heheh

s.pangruti said...

dilihat dari tulisan diatas saya ingin menanyakan apakah setiap nama la ode berarti itu keturunan raja?

LadyElen said...

Kota Muna... wah jauh bgt dari kota Malang yak :)

mykalambe said...

Bosku sepertinya bagian pertama dari tulisan ini berasal dari tulisan di Kompas, Jumat, 20 Mei 2005 dengan judul Kerajaan muna nyaris tak berbekas. Namun saya tidak melihat adanya sumber tulisan yang bisa dirujuk di dalamnya. Saya menyarankan agar tulisan tersebut dipakai sumbernya biar nalar intelektual kita jadi terus tumbuh. Oke basitie. maaf kalo ada kata-kataku yang tidak berkenan

mykalambe said...

Bosku.sa sudah terima tulisannya. aesalo maafu kalo tidak berkenan.
Btw saya di bogor tinggal di Ciomas kalo mo kontak di ymku: mykalambe@yahoo.com atau skype:adnan.faiq
sa tunggu bosku juga basitieku yang lain ya!

PLANOLOGI GANJIL 2005 said...

salam....maaf kita jurusan apa....??? tentang sejarah munanya memang sangat berguna tapi masih ada 2 opsi yang akan menjadi pertanyaan tentang sejarah...kan banyak dari isi ceritanya dikutip dari orang luar yang mengamati muna....nah bagaimana dengan penduduk asli muna sendiri yang jadi pelaku sejarah...karena ada pendapat lain mengenai penghuni pulau muna pertama....????

PLANOLOGI GANJIL 2005 said...

nah mengenai 2 opsi tadi kita tidak terlepas dari yang namanya sejarah fersi orang yang meneliti dengan pelaku sejarah itu sendiri dalam hal ini penduduk muna itu sendiri...

PLANOLOGI GANJIL 2005 said...

salam...??? lupa perkenalkan nama....AZIS SYAHBAN...MIENO WUNA

Unknown said...

PostingannYa Ku copi paste di blogQ boleh tidak BOsu????????????

Unknown said...

PostingannYa Ku copi paste di blogQ boleh tidak BOsu????????????

sudharji said...

bagaimana dengan asal mula kejadian pulau muna? ini sebenarnya sejarah yang pertama digali sebelum masuk kesejarah karena setiap buku yang saya baca tidak diuraikan secara rinci.

sudharji said...

bagaimana sejarah kejadian pulau muna sehingga ada penduduknya bila kita kaitkan antara kapal yang terdampar di dekat mesjid muna dengan coretan-coretan di dinnding seperti yang terdapat di liang kombori????

Azis Community said...

salam seluruh basitieku....apa yg ditampilkan ini paling tidak untuk menjadi landsan cerita keturunan keturunan kita orang muna yang lahir pada jaman masa kini sehingga sedikit banyak tahu asal usul dirinya. Tetapi narasi yang ditampilkan dari semua sumber belum diketemukan sebuah cerita yang sebenar benarnya awal dari bagaimana terbentuknya dan adanya itu pulau muna lalu siap penghuni awalnya dan penghuni tambahan selanjutnya..ini yang belum tampil, semoga ada yang sebenarnya..oke basitiekuu...salam kompak+++++

Blog Saya said...

Tetap maju munaku

Aslir Jaya said...

dopototoane fekiri
damowanu wuna

Unknown said...

kapude

Nama : Annas Mustaqim said...

trimakasih bhasitie...naetubhari tora kaseise ntoomu mieno wuna...izin share di blog saya...aas-inform.blogspot.com
.kalau bisa dimuat juga tulisan tentang peranan kerajaan muna dalam melawan penjajah (BELANDA) dalam memperjuangkan kemerdekaan, merebut dan mempertahankannya, sebab ada rencana dari kami mahasiswa unhalu asal kontukowuna (ghoerano kabawo) membuat tetarikal / drama ttg hal itu...tuk peringatan 17 agustus tahun ini...ok..slam kompak..

mykalambe said...

kalo tidak salah ada buku yang sangat bagus yang dibuat oleh J. Couvreur berjudul Sejarah dan Kebudayaan kerajaan Muna yang diterbitkan oleh Artha Wacana Press, Kupang tahun 2001.
Buku ini berisi mulai dari asal usul pulau muna, berdirinya dan pengaturan pemerintahan, status muna terhadap buton, nama2 kampung, golongan masyarakat, pakaian adat, pemilihan pemimpin, hak dan kewajiban para pejabat, pendapatan para pemimpin, pemuka2 agama, pendapatan pejabat agama, pengajaran agama, keluarga, perkawinan, perceraian, pemberian nama, hukum waris, pemeliharaan anak2, pesta-pesta keluarga, pesta2 kampung, hak tanah, kebiasaan pad apembukaan ladang dan pada panen jagung dan padi, tahayul, peradilan, pelayanan perorangan, bentuk rumah dan nyanyian2 yang ada di muna. Bukunya saya pernah liat di Perpustakaan Kampus Unhalu, kemungkinan ada juga di perpustakaan Daerah...salam

Agil Arus Koleksi said...

pisa, menurut saya muna bukan berasal dari belanda. tapi dari arab kuno. hal ini dibuktikan dengan pengunaan bahasa muna. contoh kata "gha". "gha" tidak berlaku dalam bahasa belanda, sedangkan di arab, itu ada.
kemudian mari kita kembali ke sajarah. Belanda datang ke muna tahun berapa dan suku wuna ada sejak tahun berapa. barangkali ini bisa di adakan peneltian ulang.

Unknown said...

baca ini jadi kangen kampung halaman ortu, kapan ya bisa mudik lagi :-(